2 research outputs found
TENSI SEKTARIANISME DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI TIMUR TENGAH PASCA ARAB SPRING
ABSTRACT
The Arab Spring wave in the beginning of 2011 that hit Middle Eastern countries, started from Tunisia, Egypt, Libya, Yemen, and Syria, which still continue to this day, is a symbol of the fall of authoritarian and repressive Arab regimes, as well as a symbol of the struggle of Arabian people who want great changes in various fields such as economic, social, and democratic political system. After eight years, the Arab Spring still has many problems, Middle Eastern countries still trapped in conflict and civil war. The transition of democracy that hoped is not going well, trapped in sectarian interests: tribes, religions, streams (madzhab), and political groups. Sectarianism has become one of the causes of instability and colored the politic dynamics in the region. In fact, it socially and historically has multiple roots over a long period of time in the Middle East. This paper seeks to read the history and dynamics of sectarian conflict, as well as the process of democratic transition: between opportunities and challenges, and the realization of democracy in the region after the Arab Spring.
Keywords: Sectarianism, Democracy, Arab Spring, Middle East.
ABSTRAK
Gelombang Arab Spring pada awal 2011 yang melanda negara-negara Timur Tengah, dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah yang masih berlanjut hingga kini, adalah sebuah simbol jatuhnya rezim-rezim Arab yang otoriter dan represif, dan juga sebagai simbol perjuangan rakyat Arab yang menginginkan adanya perubahan besar dalam berbagai bidang, ekonomi, sosial, sistem politik terbuka dan demokratis. Setelah delapan tahun semenjak bergulirnya, Arab Spring masih menyisakan banyak problem, negara-negara Timur Tengah masih terpuruk, terjebak dalam konflik dan perang saudara. Transisi demokrasi yang dicita-citakan tidak berjalan dengan baik, tersandera oleh kepentingan-kepentingan sektarian: suku, agama, mazhab dan kelompok politik. Sektarianisme menjadi salah satu penyabab instabilitas dan telah mewarnai dinamika politik di kawasan Timur Tengah. secara sosio-historis sektarianisme di Timur Tengah memiliki akar yang berlapis-lapis dalam kurun waktu yang panjang. Tulisan ini berusaha untuk membaca sejarah dan dinamika konflik sektarisnisme, proses transisi demokrasi: antara peluang dan tantangan, dan realisasi demokrasi di Timur Tengah pasca Arab Spring.
Kata Kunci: Sektarianisme, Demokrasi, Arab Spring, Timur Tengah
ARAB SAUDI BARU: VISI 2030, REFORMASI, DAN WAHABISME
Penelitian ini dilatar belakangi oleh ketertarikan peneliti pada fenomena baru yang
sedang melanda Kerajaan Arab Saudi. Kerajaan Arab Saudi sebagai sebuah entitas
negara memiliki ciri khas yang terbentuk dari ajaran Wahabisme yang terkesan
kaku, rigid, tertutup dari modernisme dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Lahirnya visi 2030 yang digagas oleh putra mahkota Muhammad bin Salman atas
ambisi untuk melepaskan Arab Saudi dari ketergantungan terhadap minyak telah
membawa narasi baru yang lebih terbuka, modern, dan moderat. Penelitian ini
bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan penting, yaitu; bagaimana sejarah
dan hubungan simbiosis antara Ibnu Sa’ud dan Wahabisme? Bagaimana
konstelasi dan konteks lahirnya visi 2030 Arab Saudi? Dalam bidang apa saja
Arab Saudi melakukan Reformasi dan bagaimana dampaknya? Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif yang menggunakan motode deskriptif analitis,
penelitian ini juga merupakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teori kepentingan nasional dan teori kekuatan
nasional sebagai pisau analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, perkembangan Kerajaan Arab
Saudi tidak dapat dipisahkan dari gerakan Wahabisme. Hubungan antara Arab
Saudi dan Wahabisme terjalin dalam bingkai simbiosis, yaitu hubungan yang
saling menguntungkan satu sama lain. Kedua, visi 2030 lahir dalam konstelasi dan
konteks intenal kerjaan Arab Saudi dan regional Timur Tengah. Dalam konteks
intenal Kerajaan Arab Saudi, visi 2030 bukan saja sebagai sebuah gagasan besar
dari keinginan ambisius untuk melepaskan Arab Saudi dari ketergantungan
terhadap minyak, namun visi 2030 juga menjadi instrumen untuk mempertegas
eksistensi putra mahkota Muhammad bin Salman sebagai calon tunggal pengganti
raja, menggantikan ayahnya sendiri Raja Salman bin Abdulaziz. Dalam konteks
regional, visi 2030 lahir karena semakin menguatnya pengaruh Iran di kawasan
Timur Tengah. Dan untuk memastikan keberhasilan visi 2030, Arab Saudi telah
bekerja keras melakukan reformasi di berbagai bidang dengan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan radikal, baik dari sisi kebudayaan, sosial, politik, dan agama.
Demi kepentingan ekonomi, reformasi terpolarisasi ke aspek kepentingan
ideologi, kebijakan-kebijakan nasional merugikan Wahabisme. Meskipun
dirugikan, namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh kalangan ulama
Wahabisme, karena pemerintah Arab Saudi tegas menghukum siapa saja yang
bertentangan dengan kebijakan strategis negara. Sebagian besar kalangan ulama
Wahabisme, termasuk Dewan Senior Ulama, mengambil sikap kompromi dan
mendukung kebijakan strategis negara untuk menyukseskan visi 2030